GAYA HIDUP,www.fokuababel.com–Di tengah arus modernisasi yang terus menggerus tradisi lokal, masyarakat Bangka Belitung tetap teguh menjaga warisan budaya leluhur.
Salah satu tradisi yang masih dijaga hingga kini adalah ruahan, sebuah bentuk syukur jelang Ramadan yang kental dengan nilai kekeluargaan dan spiritualitas.
Apa Itu Ruahan?
Ruahan berasal dari kata “ruah”, yang dalam budaya Melayu Bangka Belitung dimaknai sebagai upaya meluaskan rezeki dan berkah.
Tradisi ini lazim dilakukan dua minggu atau beberapa hari sebelum Ramadan tiba.
Bentuknya bisa beragam, dari makan bersama keluarga besar, mengirim makanan ke tetangga dan kerabat, hingga menggelar tahlilan serta doa bersama untuk mendoakan arwah leluhur.
Di sejumlah desa, ruahan bahkan menjadi momen besar yang melibatkan seluruh warga.
Suasananya penuh kehangatan, meja-meja dipenuhi makanan khas seperti lepat, kue talam, dan nasi minyak.
Anak muda bersilaturahmi dengan yang lebih tua, dan mereka yang merantau biasanya menyempatkan pulang demi ikut dalam kebersamaan ini.
Lebih dari Sekadar Tradisi
Bagi masyarakat Bangka Belitung, ruahan bukan sekadar ritual tahunan.
Ia adalah bentuk nyata dari rasa syukur atas kehidupan dan rezeki yang diberikan Tuhan, sekaligus sebagai pengingat untuk saling memaafkan sebelum menjalani bulan penuh berkah.
Tradisi ini juga memperkuat ikatan sosial dalam komunitas membangun rasa kebersamaan, empati, dan gotong royong.
Tak jarang, ruahan juga dijadikan momen untuk berbagi kepada yang membutuhkan.
Makanan dibagikan bukan hanya ke keluarga, tapi juga ke tetangga yang kurang mampu.
Nilai-nilai ini mengakar kuat dalam budaya Melayu Bangka Belitung yang menjunjung tinggi keharmonisan dan rasa peduli antar sesama.
Menjaga Warisan di Tengah Perubahan
Generasi muda kini hidup di era yang serba cepat dan digital.
Namun, tradisi seperti ruahan menjadi pengingat bahwa ada nilai-nilai luhur yang patut dijaga.
Banyak anak muda Bangka Belitung yang kini berusaha menghidupkan kembali ruahan, bahkan mengemasnya dengan cara yang lebih kreatif.
Seperti mengadakan ruahan online saat pandemi atau membuat dokumentasi digital untuk memperkenalkannya ke dunia luar.
Melalui ruahan, masyarakat Bangka Belitung menunjukkan bahwa bersyukur tidak harus mewah.
Cukup dengan berbagi, mendoakan, dan menjaga hubungan baik, kita sudah melestarikan satu budaya yang kaya akan makna dan kearifan lokal.
Ruahan adalah cermin dari wajah masyarakat Bangka Belitung yang hangat, religius, dan penuh rasa syukur.
Di balik setiap hidangan dan doa, tersimpan harapan akan keberkahan, kedamaian, dan kehidupan yang lebih baik.
Semoga tradisi ini terus hidup dan menginspirasi, tidak hanya di tanah Bangka Belitung, tetapi juga di hati siapa saja yang merindukan kehangatan budaya lokal Indonesia. (*)










