HIBURAN, www.fokusbabel.com – Dalam sistem penanggalan Jawa, terdapat perpaduan unik antara kalender Masehi, Hijriah, dan sistem tradisional lokal.
Salah satu ciri khasnya yang melekat pada suku Jawa yakni, siklus pasaran yang terdiri dari lima hari di antaranya Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Diman, ketika dipadukan dengan tujuh hari kalender Masehi, terbentuklah kombinasi hari yang dikenal sebagai weton.
Dari masing-masing weton memiliki makna dan keunggulan tersebut. Namun, weton yang kerap mendapat perhatian khusus dari masyarakat Jawa adalah Sabtu Legi.
Weton Sabtu Legi dihitung dari pertemuan antara hari Sabtu dan pasaran Legi.
Simbol Spiritual dalam Sabtu Legi.
Sabtu Legi di percaya memiliki nilai spiritual yang tinggi.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, setiap weton diyakini membawa pengaruh terhadap watak, jodoh, hingga peruntungan seseorang.
Oleh karena itu, tak jarang weton menjadi acuan dalam memilih hari baik untuk berbagai aktivitas penting, seperti pernikahan, pindah rumah, atau memulai usaha.
Menurut tradisi primbon Jawa, mereka yang lahir pada weton Sabtu Legi cenderung memiliki kepribadian yang tenang, penuh pertimbangan, dan tidak mudah terprovokasi.
Mereka di kenal sebagai pribadi yang bijaksana dan mampu menjadi penengah dalam konflik.
Selain itu, karakter mandiri dan teguh pendirian juga melekat kuat pada weton ini.Namun demikian, seperti karakter lainnya dalam primbon, sifat-sifat tersebut tidak bersifat mutlak.
Faktor lingkungan, pola asuh, serta pengalaman hidup tetap memainkan peranan penting dalam membentuk kepribadian seseorang.
Hari Baik dan Tradisi Laku Batin.
Dalam praktik budaya Jawa, penentuan hari baik (dino apik) merupakan bagian penting dari berbagai ritual adat.
Sabtu Legi kerap di anggap sebagai hari yang membawa energi spiritual positif.
Oleh karena itu, banyak masyarakat yang memilih hari ini untuk menjalani laku batin, seperti berpuasa, bertapa, atau berziarah.
Namun perlu di ketahui, kepercayaan terhadap weton dan penanggalan Jawa bersifat kultural, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya bangsa. (*)